Goodbye Summer – Jaemjen
Disarankan membacanya sambil mendengar lagu Goodbye Summer – fx, D.O.
“Dulu aku pernah suka sama kamu, Jaem.”
Jaemin terkekeh mendengar pernyataan Jeno, memandang keluar jendela kafe mengawang memori..
Saat itu mereka masih di bangku sekolah menengah atas, menjadi teman sekelas sekaligus teman sebangku selama tiga tahun. Sudah macam anak kembar, tidak terpisahkan barang sehari.
Mereka tidak memiliki selera yang sama, namun saling melengkapi. Jaemin yang tidak suka berolahraga dan Jeno yang sangat mencintai hal-hal yang membuat ototnya bergerak.
Tapi Jaemin selalu setia menunggu Jeno berlatih renang dan selalu menjadi asisten pribadi, mencatat skor waktu tiap kali Jeno mencoba lompatan indah. Juga sekaligus menjadi dokumenter handal yang selalu merekam proses lompatan itu dengan kameranya. Walau tujuan Jeno melakukannya hanya untuk hobi semata.
Begitu juga dengan Jeno, dia tidak begitu mengerti estetika dan tetek bengek dalam dunia fotografi, tapi selalu bersedia menjadi objek pandang kamera Jaemin. Walaupun Jeno tidak bisa berpose layak model, ia selalu dapat dipotret cantik oleh tangan ajaib Jaemin dan kameranya.
Jeno awalnya sempat menolak, dia sungguh tidak akrab dengan benda kotak itu. Namun Jaemin meyakinkannya dengan bilang,
“Kamu diam saja juga, sudah tercetak dengan indah.”
Lalu wajah mereka akan memerah menahan debaran hati, namun berlomba untuk menutupinya.
Mereka saling menyukai, jelas juga saling menyayangi. Renjun, teman satu lingkaran mereka pernah bilang, bahwa tidak ada sahabat yang memberikan ciuman pertamanya kepada sahabatnya seperti mereka. Juga tidak ada sahabat yang tidur saling memeluk tiap kali ada acara menginap dan tentu saja tidak ada sahabat yang cemburu sahabatnya mendapat pernyataan cinta dari orang lain.
Mungkin yang ada hanyalah salah satu atau dua orang saling menahan diri demi tidak menghancurkan hubungan pertemanan yang polos.
“Kalau saat itu aku jujur suka kamu, bakal kayak gimana ya kita sekarang?”
Jaemin memandang Jeno yang sekarang bergantian memandang jalanan lengang.
“Entah.. Banyak yang bisa terjadi.”
“Ya, mungkin kita bisa pacaran,”
“Bisa juga putus.”
“Bisa juga lagi nyebarin undangan nikah, kayak yang sekarang kamu lakukan.”
Jeno lantas memandang Jaemin yang menatapnya dengan tatapan tidak bisa ia gambarkan.
Jeno sungguh menyesal tidak pernah jujur menyatakan perasaannya pada laki-laki yang ada di depannya ini masa sekolah dulu, karna sejujurnya Jaemin selalu menjadi nomor satu di hatinya.
Setelah mereka lulus dan berpisah yang mana mengurangi frekuensi mereka bertemu sehingga hubungan mereka merenggang, Jeno tidak pernah melupakan Jaemin barang sehari. Sehingga ia sering berpikir, bagaimana jadinya jika mereka sempat berpacaran?
Namun semuanya sudah berlalu, setelah lulus kuliah dan berada di lingkungan baru, banyak yang telah terjadi, merubah cara pandang dan juga perasaannya. Ia jauh lebih membaik dan mulai menerima seseorang yang mengetuk pintu hatinya. Jeno mungkin menyesal, tapi ia lebih banyak bersyukur, karna jika semua tidak terjadi dirinya tidak akan bertemu sang calon suami.
Lalu mereka tertawa, merasa konyol mengingat masa-masa menjadi pengecut.
“Kalau saja waktu itu aku juga jujur, aku mungkin akan peluk kamu.” Jeno memandang Jaemin tepat di mata.
“Sekarang juga masih bisa peluk, kok..... Best friend hugs?”
Kalau saja tidak ada meja yang menghalangi, mungkin pelukan itu sudah terjadi. Mereka sekarang ada di kafe sekitar sekolah mereka dulu. Jeno menghubungi Jaemin beberapa hari lalu, memintanya untuk bertemu jika dirinya luang.
Jaemin yang bahkan sudah hampir melupakan eksistensi Jeno pada memorinya teringat kembali kisah manis dulu dengan pria rupawan ini. Karna kebetulan dia sedang pulang ke rumah orang tuanya, maka ia sanggupi ajakan Jeno.
Pikiran Jaemin penuh oleh banyak pertanyaan sejak itu, salah satunya adalah alasan apa yang membuat Jeno mengajaknya bertemu setelah enam tahun tidak saling berkabar?
Sedikit timbul harap saat ia melihat kembali rupa Jeno yang menawan, ia tersihir dan kembali teringat bagaimana perasaannya masa sekolah dulu. Namun kemudian sirna digantikan oleh perasaan kecewa tipis-tipis.
Jeno ingin bertemu dengannya untuk memberikan undangan pernikahan dirinya dengan sang kekasih yang akan dilangsungkan dua minggu mendatang. Jeno bilang calon suaminya adalah bos di tempatnya bekerja, pria baik bertanggung jawab yang beri Jeno penuh afeksi.
Jaemin mungkin memiliki perasaan kecewa, tapi ia pernah sekali berjanji pada dirinya, bahwa sampai kapanpun Jeno adalah sahabatnya. Maka perasaan bangga dan bahagia lebih banyak dirasa.
Ia bersyukur jika Jeno mendapat berkah cinta yang tulus dan limpah bahagia, karna dirinya tidak memiliki kesempatan itu, maka jika ada orang lain yang sanggupi ia akan sangat berterima kasih. Sebab Jeno adalah manusia berjiwa baik yang harus diberkahi kasih yang hangat.
“Makasih udah jauh-jauh mau temui aku dan ngasih undangan ini, aku kasih selamatnya sekarang atau nanti di hari bahagiamu?”
“Kalau dua kali, boleh kan?”
“Sekali aja deh, biar aku enggak capek ngomongnya.”
“Ah, kamu enggak asik!”
Lalu mereka terkekeh lembut dan tersenyum tulus memandang satu sama lain, Jeno sudah lepaskan Jaemin sebelum dirinya benar-benar dekat dengan sang kekasih, ia sudah ikhlas dan tidak memiliki perasaan lebih dari sekedar teman.
Jaemin pun detik ini mulai bertekad pada dirinya sendiri, tidak akan pernah melupakan Jeno lagi, ia akan kembali menjadi sahabat yang dapat diandalkan jika Jeno memberinya kesempatan sekali lagi.
Perkataan Renjun benar, mereka adalah dua orang manusia yang saling menahan diri demi pertemanan polos itu.