Selalu Seperti Ini – Dongmark

Gerimis, rintik hujan kecil-kecil yang berkali-kali menyentuh kepala Mark itu enggak ngebuat dia menyerah untuk neduh, yang ada dia malah duduk diam di pinggir jalan dengan wajah yang ditekuk.

Dia pun enggak peduli saat beberapa pasang mata melirik atau saat suara pengamen makin kenceng karena sekarang posisi si akang yang lagi ngamen persis di sebelah dia, nyanyiin lagu Dindanya Kugiran Masdo.

‘Dinda jangan marah-marah, takut nanti lekas tua.’

Anjir, bukannya reda itu emosi, yang ada malah tambah kesal karena ke inget alasan apa yang buat dia jalan beberapa meter buat ninggalin seseorang tadi.

Sekarang hujannya kerasa makin deras, beberapa orang mulai ngibrit, termasuk akang ngamen tadi, jujur sebenernya Mark merasa dingin, tapi kalau dia neduh, nanti susah dicari sama seseorang, jadi dia memutuskan untuk tetap duduk diam.

Enggak berapa lama dateng seseorang nyerahin helm ke dia, sambil berteriak karena suaranya teredam hujan.

“Pake. Ayo balik. Gue minta maaf, ayo buruan naik dulu, Yang.”

Kata seseorang itu sambil sesekali ngelirik ke arah lampu merah yang detiknya terus mundur. Mark sebenernya masih kesel, tapi dia enggak mau buat drama di tengah jalanan kayak gini lama-lama. Alih-alih ambil helm yang disodorin ke arahnya, dia cuma berdiri nutupin kepala pake telapak tangan dan kemudian duduk di jok belakangㅡtoh enggak ada polisi juga.

Tadinya si laki-laki satuㅡDonghyuck, ingin protes dan memaksa Mark supaya pake helm, tapi keburu lampu hijau dia akhirnya tancap gas membawa mereka ke tujuan. Karena pun udah terlanjur basah, Donghyuck milih untuk terobos hujan sampe ke kosnya dia. Begitu nyampe mereka langsung buru-buru turun untuk menghindari hujan walau percuma.

Sekarang mereka udah ada di dalam kamar kos Donghyuck dengan baju yang basah kuyup dan air menggenang di lantai. Biar lah sekalian banjir, Donghyuck enggak peduli, yang bisa dia pikirin cuma gimana caranya dapat maaf dari pacarnya.

“Gue salah banget, gue minta maaf, gue seharusnya nggak main asal tonjok aja. Sorry?”

“Lo tau nggak sih, anjing? Dia tuh senior gue! Lo tuh kalo nggak tau, nanya, bangsat!”

“Yauda iya, sorry. Gue udah bilang maaf tadi. Lagian siapa sih yang bisa diem aja ngeliat pacarnya flirting sama orang lain? Sinting kali.”

“Dia cuma ngelus punggung gue, bukan minta ciuman. Apa salahnya sih?”

“Salah anjing. Lo cowok gue! Kok mau dipegang-pegang yang lain. Murahan banget lo?!”

“Anjing. Jaga mulut lo-”

Amarah, serta caci maki terbungkam oleh ciuman panas yang penuh emosi. Enggak ada lagi rasa dingin dari kehujanan, yang ada cuma kehangatan yang menjalar jadi api.

Selalu begini, selalu seperti ini. Ketika mereka mulai merasa masalah enggak lagi bisa diselesaikan dengan cara bicara, maka biar ludah yang menjelaskan.

Ciuman yang udah panas karena emosi berganti jadi gairah, enggak ada lagi perasaan cemburu yang ada hanyalah obsesi. Katakan mereka rusak, tapi enggak ada yang lebih indah dari dua orang yang saling ingin.

Kata orang mereka gila, kata orang mereka aneh, mereka juga merasa enggak normal. Tapi ah masa bodoh, toh bahagia tiap manusia beragam bentuk. Kalau orang lain bahagia dengan cara mencintai dan mengasihi. Kayaknya sah-sah aja kalau mereka anggap saling menghancurkan adalah suka cita.