Meteor – Jaemren

Pemandangan kota malam yang terlihat indah sebab bias lampu dari bangunan yang nampak kecil dari roftoop ini begitu menenangkan. Sunyi yang membalut diamnya dua laki-laki yang sedang bersebelahan menambah kesan dingin cuaca pada jam tiga pagi ini.

Mereka sudah berdiri saling jajar sejak sepuluh menit lalu, sambil memandang langit mencoba menangkap citra si bintang jatuh. Belum ada satu patah kata yang terucap dari masing-masing walau benda langit yang diharap sudah terjatuh. Seakan tidak ada hal yang perlu dijelaskan dan tidak pula ada kata hangat cinta yang perlu terucap kembali.

Melayang pada pemikiran masing-masing, menelaah sebenarnya apa yang telah terjadi saat ini? pada mereka? pada hubungan sehangat peluk yang berubah menjadi angan? Apa dan dari mana sebenarnya asal mula semua ini dapat terjadi?

Yang mereka sadar hanyalah telah padamnya api cinta di hati, ludes tak tersisa barang bara. Layunya bunga-bunga yang kemarin sore masih bertumbuh dengan aliran air mata penuh bahagia, sirna dalam sekejap mata.

“Selamat ulang tahun, Jaemin.”

“Terima kasih, Renjun. Jaga diri baik-baik di Jilin, maaf aku enggak bisa mengantar kamu ke bandara.”

“Ya, enggak masalah. Aku juga enggak mengharapkan itu. Kamu juga baik-baik, kurangi kafein jika ingin hidup lebih lama.”

Hanya kekehan kecil yang Renjun dapat sebagai balasan, mereka berbicara tanpa saling tatap. Enggan terperangkap pada dalamnya semu cinta.

Tanpa genggam, tanpa peluk, tanpa salam hangat perpisahan mereka meninggalkan sudut indah penuh memori. Menutup lembaran cerita dengan catatan ‘selesai’ yang dibubuhi titik air mata.

Juga dengan doa dalam hati yang dirapalkan penuh ikhlas saat si bintang terjatuh, berharap waktu dapat menyembuhkan luka yang digoreskan masing-masing.