bukan kali pertama kekasih hatinya menghilang tanpa pesan, tak ada jawaban tak beri harapan. jika demikian jeno hanya bisa pasrah menunggu kabar sembari sabar. walau hati cemas dengan wajah pias, jeno tetap berdoa semoga jaemin tetap waras.
empat hari berlalu semenjak sang jaka hilang jejak, jeno sudah mencoba menghubungi keluarga, rekan kerja, teman dekat bahkan sang pemilik kos dimana jaemin tinggal, namun semua menjawab,
“kurang tau mas, mungkin lagi naik gunung.”
dan lelaki manis itu pun tersadar, bahwa yang paham tabiat si sayang hanyalah dirinya. jaemin bukan sedang berlibur menghibur diri dengan mendaki gunung, tapi lelaki itu sedang melaut berharap tenggelam dan hilang dari runyam nya dunia.
saat jeno sedang menatap kosong layar tivi telepon genggamnya berdering dengan nama “sayang” sebagai penelpon, secepat kilat jeno geser ke tombol hijau, ragu jaemin berubah pikiran.
“halo.. kamu lagi dimana?”
“disini.”
“disini dimana.. jaemin?”
“ada.”
“ada dimana?”
“jeno.”
“..”
“aku capek.”
“iya..istirahat disini, sama aku.”
“kita putus aja.”
matanya yang sudah merah tak kuat menggenang air mata, watirnya berujung kenyataan.
“enggak putus jaem.. kamu bisa cerita sama aku. kita cari solusi sama-sama, enggak lari begini.”
“aku capek sama semuanya, aku nggak bisa, mau bebas sementara.”
“aku tunggu, aku bisa nunggu, aku diem aja. nggak akan nuntut.”
“aku nggak mau punya beban seperti janji. aku nggak bisa janji.”
sambungan terputus karena telepon genggam jeno yang lemah daya, begitu juga hubungan mereka yang membuat tak berdaya.
empat bulan semenjak terakhir mereka bertemu, semuanya kembali normal seperti semula, lebih tepatnya jaemin kembali menjadi jaemin yang punya segudang canda untuk membuat semua orang tertawa dan nyaman karena senyum manisnya. jeno tidak menyangka di acara perayaan sederhana seniornya yang naik jabatan, dia akan melihat sang mantan kekasih. tidak sengaja mata mereka bertatap, jeno kikuk sebab jaemin menyapa lembut dirinya,
“udah dari tadi?”
jeno hanya mengangguk tipis sembari tetap memperhatikan jaemin. lelaki senyum lebar itu memang datang sangat terlambat, bahkan acara hampir selesai.
“ada yang masih mau lanjut?” tanya senior pemilik acara. beberapa menjawab iya namun tidak dengan jeno,
“maaf bang, saya besok ada shift pagi.”
“saya mau nganter yang besok shift pagi, bang.”
jenaka jaemin disambut dengan kekehan dari yang lebih tua.
“yaudah, hati-hati kalian.”
“siap bang!”
jeno hanya memperhatikan jaemin yang mengantar seniornya sampai ke taksi sambil berusaha menenangkan degupan jantung kebingungan.
“aku antar ya?”
“kalau nggak mau?”
“aku ikuti sampai rumah.”
“serem.”
jaemin senyum tipis sambil berjalan meninggalkan jeno untuk mengambil motornya. setelah diam setengah perjalanan, di lampu merah terakhir arah tuju rumah jeno, jaemin kemudian berbicara.
“laper nggak?”
“..laper.”
“mau bubur?
“boleh.” yang penting bisa ngobrol lebih lama.
“bang dua ya, satu komplit satu nggak pakai daun bawang.”
jaemin tarik kursi duduk di seberang jeno.
“masih nggak suka daun bawang kan?”
“memang bisa tiba-tiba suka?”
“bisa, kalau jadi tertarik.”
“aku nggak mudah ganti ganti.”
“..liat kucingnya mirip si bimbon.” kucing jeno yang paling tua.
jaemin juga tidak banyak berubah, masih jadi jaemin yang suka menyapa kucing lalu berbagi sedikit makanannya, begitu juga dengan jeno yang masih terus mengagumi jaemin.
“udah malem, nginep aja?”
“kamu izinin?”
“kan aku yang nawarin.”
“iya, aku nginep.”
“gih parkir aja di dalem, parkirnya nyerong biar nggak halangin jalan.”
“aku masih hapal, kamu ke atas duluan gih. mau ngerokok.”
“di atas aja.”
“nanti kamu batuk-batuk, disini aja, sepuluh menit.”
jeno mengangguk tanda setuju, jaemin masih ingat jeno tidak tahan asap rokok.
“aku duluan.”
“aku nyusul.”
saat jaemin selesai habis beberapa batang dia semprot minyak wangi sebelum naik lalu mengetuk pelan pintu yang setengah ditutup.
“masuk.”
“aku udah pake parfum tadi.”
“mau ganti baju juga bisa, baju kamu masih ada yang ketinggalan.”
“nggak usah, ini aja.”
jeno mengangguk lalu masuk ke kamar mandi, jaemin diam memperhatikan ruangan yang tidak asing, ruangan yang hampir setiap hari ia tinggali layaknya rumah pribadi beberapa bulan lalu. putih, bersih, dengan meja di sudut yang terpajang beberapa bingkai foto dua orang laki-laki tersenyum manis, dirinya dan jeno.
“aku di sofa aja.”
“disini aja, masih muat.”
jeno menepuk singkat sisi kirinya yang kosong dan bernapas lega saat jaemin tidak menolak tawarannya. keduanya terhening dalam balutan selimut yang sama, bahu yang bersentuhan tipis-tipis memberikan perasaan nyaman.
“kamu masih baik.”
“aku masih sayang.”
“walaupun akunya jahat?”
“kamu nggak jahat.”
“aku ninggalin kamu.”
“kamu punya alasan.”
“kamu nggak marah?”
“nggak.”
“tapi?”
“tapi kecewa..”
“..”
“aku kecewa sama diri aku, belum jadi pasangan yang baik sampai kamu memilih lalui sendiri.”
jaemin menatap mata jeno yang meneteskan air mata, dalam hati rapal kata maaf sebab telah menyakiti.
“maaf.. aku payah minta tolong.”
“jangan pergi lagi, kamu punya aku.”
“aku sayang kamu, no.”
jeno bergerak untuk menenggelamkan wajahnya di dada bidang jaemin, memeluk erat pinggangnya seakan tak beri izin untuk kembali pergi.
“aku juga sayang kamu, jaem. selalu sayang.”
jaemin kecup berkali-kali pucuk rambut kekasihnya sambil ia balas peluk eratnya.
“aku masih nggak bisa janji. tapi aku usaha untuk nggak buat kamu sakit lagi.”
“nggak buat diri kamu sakit juga, dengan cara minta tolong.”
“iya, aku usaha untuk nggak lagi menghindar.”
“jaemin nggak sendiri, jeno menemani.”
“terimakasih, sayang.”
jaemin mulai sadar, tidak ada salahnya meraih uluran tangan dan minta diselamatkan.